Kegiatan rutin jam'iyah tahlil dan istighosah Keputran - Kemantren setiap tahun adalah mengadakan ziarah ke makam-makam para Waliyulloh. Mengawali tahun 2017 ini Jam'iyah tahlil dan istighosah Keputran - Kemantren pada tanggal 7-8 Januari 2017 lalu telah mengagendakan tour ziarah wali Madura.
Makam-makam keramat yang terdapat di Pulau Garam tersebut umumnya adalah makam para ulama dan kyai yang berperan menyebarkan agama Islam. Makam para kyai atau wali dalam Bahasa Madura juga sering disebut dengan Buju’, sedangkan kompleks makam disebut “pasarean”. Ada juga makam para raja yang sempat memerintah di masa kejayaan Kerajaan Madura.
Tour ziarah wali Madura kali ini diikuti kurang lebih 180 jama'ah. Keberangkatan rombongan jama'ah di mulai pukul 19.00 WIB, dengan transportasi 3 Bus langsung menuju ke :
1. Makam Syaikhona Kholil Bangkalan.
Tepat di bawah masjid ini bersemayam wali Allah yang termahsyur dari Madura. Syaikhona Kholil. Sang pencetak waliyullah dari Bangkalan. Di kalangan umat Islam, khususnya Warga Nahdliyyin (NU), Raden Kyai Haji Kholil atau yang biasa disapa Mbah Kholil sangat terkenal karena beliau adalah guru dari pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari. Konon menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi imam di masjid Makkah Al Mukarromah. Makamnya terletak di dalam masjid Desa Mertajasah Kecamatan Kota Kabupaten Bangkalan.
Kemudian perjalan dilanjutkan menuju :
2. Aer Matah Ebu (Air Mata Ibu).
Sekitar 30 menit perjalanan dari Makam Mbah Kholil, selanjutnya bergerak ke kecamatan Arosbaya. Sebuah gerbang bercat putih dan hitam berornamen khas Bangkalan, Madura dengan tulisan Aer Mata. Ini juga merupakan kompleks makam para pembesar kerajaan yang terletak di Bangkalan. Harus menempuh beberapa anak tangga untuk sampai di makam para Raja-Raja Bangkalan terdahulu. Desain ornamen pada batu yang berada di sisi utara batu nisan membawa seolah kembali ke masa lalu.
Perjalanan tour ziarah wali Madura dilanjutkan menuju Pamekasan
3. Batu Ampar.
Dalam perjalanan selanjutnya sebelum destinasi menuju Talango, rombongan kami beristirahat sejenak dan melaksanakan sholat Subuh di Masjid Agung Pamekasan. Setelah itu rombongan kami sampai di Talango keesokan harinya, udara sejuk pelabuhan di pagi hari.
4. Syekh Yusuf Talango.
Guna mencapai makam ini, pengunjung harus menyeberang sekitar 15 menit dari pelabuhan Kalianget yang terletak di ujung Timur Madura.
Sedikit tentang Syekh Yusuf
Menurut cerita turun temurun asal mula Makam Sayyid Yusuf bermula pada tahun 1212 H (Tahun 1791 M) raja Sumenep Sri Sultan Abdurrahman Pangkutaningrat, beserta rombongan/prajuritnya berangkat dari Keraton Sumenep. Maksudnya akan menyebarluaskan Agama Islam ke Pulau Bali.
Setibanya di Pelabuhan Kalianget, karena hari telah sore, maka beliau terpaksa bermalam, di sekitar jam 24.00 Sri Sultan Abdurrahman terkejut karena tiba-tiba melihat sinar/cahaya yang sangat terang, seakan-akan jatuh dari langit ke Bumi di sebelah timur Pelabuhan atau tepatnya di Pulau Poteran desa Telango Kecamatan Telango Kabupaten Sumenep.
Setelah sholat Subuh, Sri Sultan dengan pengikutnya naik perahu menuju pulau tersebut untuk mencari tanda jatuhnya sinar tersebut. Setibanya di pulau Poteran, Sri Sultan masuk hutan lalu mendapatkan tanda yang meyakinkan seakan-akan kuburan baru. Lalu beliau memberi salam dan salam beliau dijawab dengan suara jelas. Namun tidak ada yang menampakkan diri.
Selanjutnya Sri Sultan Abdurrahman ingin mengetahui suara tersebut. Maka beliau munajat atau memohon kehadirat Allah SWT, tiba-tiba jatuhlah selembar daun diharibaannya dan setelah diperhatikan daun tersebut tertulis dengan tulisan Arab 'Hadza Maulana Sayyid Yusuf Bin Ali Bin Abdullah Al Hasani'.
Selanjutnya Sri Sultan Abdurrahman memasang batu nisan dengan diberi nama sebagaimana yang terdapat atau tertulis pada daun tersebut. Setelah melanjutkan perjalanannya. Sebelum berangkat beliau menancapkan tongkat beliau di dekat kuburan atau pesarean Sayyid Yusuf dan tongkat tersebut hidup sampai sekarang menjadi pohon yang besar dan rindang.
Setelah beberapa lama kuburan atau pesarean diberi cungkup atau pendopo kecil tetapi hanya kuburan Sayyid Yusuf pindah dari sebelah timur dengan arti tidak menghendaki diberi cungkup.
Dan sekitar kurang lebih satu tahun, kemudian Sri Sultan Abdurrahman mendatangi lagi kuburan atau pesarean Sayyid Yusuf untuk membangun pendopo di sekitar kuburan tersebut juga termasuk masjid Jami' Kecamatan Telango.
Setibanya di Pelabuhan Kalianget, karena hari telah sore, maka beliau terpaksa bermalam, di sekitar jam 24.00 Sri Sultan Abdurrahman terkejut karena tiba-tiba melihat sinar/cahaya yang sangat terang, seakan-akan jatuh dari langit ke Bumi di sebelah timur Pelabuhan atau tepatnya di Pulau Poteran desa Telango Kecamatan Telango Kabupaten Sumenep.
Setelah sholat Subuh, Sri Sultan dengan pengikutnya naik perahu menuju pulau tersebut untuk mencari tanda jatuhnya sinar tersebut. Setibanya di pulau Poteran, Sri Sultan masuk hutan lalu mendapatkan tanda yang meyakinkan seakan-akan kuburan baru. Lalu beliau memberi salam dan salam beliau dijawab dengan suara jelas. Namun tidak ada yang menampakkan diri.
Selanjutnya Sri Sultan Abdurrahman ingin mengetahui suara tersebut. Maka beliau munajat atau memohon kehadirat Allah SWT, tiba-tiba jatuhlah selembar daun diharibaannya dan setelah diperhatikan daun tersebut tertulis dengan tulisan Arab 'Hadza Maulana Sayyid Yusuf Bin Ali Bin Abdullah Al Hasani'.
Selanjutnya Sri Sultan Abdurrahman memasang batu nisan dengan diberi nama sebagaimana yang terdapat atau tertulis pada daun tersebut. Setelah melanjutkan perjalanannya. Sebelum berangkat beliau menancapkan tongkat beliau di dekat kuburan atau pesarean Sayyid Yusuf dan tongkat tersebut hidup sampai sekarang menjadi pohon yang besar dan rindang.
Setelah beberapa lama kuburan atau pesarean diberi cungkup atau pendopo kecil tetapi hanya kuburan Sayyid Yusuf pindah dari sebelah timur dengan arti tidak menghendaki diberi cungkup.
Dan sekitar kurang lebih satu tahun, kemudian Sri Sultan Abdurrahman mendatangi lagi kuburan atau pesarean Sayyid Yusuf untuk membangun pendopo di sekitar kuburan tersebut juga termasuk masjid Jami' Kecamatan Telango.
Jika anda kesana, anda akan menemukan sebuah pohon besar yang menaungi Makam Sayyid Yusuf tidak lain itu adalah sebuah tongkat Sri Sultan Abdurahman yang tertancap sehabis memakamkan beliau, sebelum pohon itu besar pernah Sri Sultan Abdurahman membuatkan cungkup atau peneduh diatas makam beliau tapi setelah keesokan harinya makamnya berpindah sedikit ke timur maka dari itu Sultan Abdurahman mengerti jika Makam tersebut tidak ingin diberi cungkup dan ingin menjadi makam yang terbuka dengan alam.
Dalam perjalanan kembali pulang kami istirahat sejenak di lokasi wisata Api Tak Kunjung Padam, sebelum melanjutkan perjalanan menuju
5. Asta Tinggi.
Ini merupakan kawasan pemakaman khusus para raja dan keluarganya yang terletak di dataran tinggi bukit Kebon Agung Sumenep. Penataan makam dan pintu gerbangnya artistik dan indah. Makam para raja-raja Sumenep, Asta Tinggi. Dari daerah ini terlihat kabupaten Sumenep dari atas bukit. Memang Asta Tinggi terletak di atas dataran tinggi di utara kabupaten Sumenep. Di kawasan ini kita diajak masuk ke tempo dulu dengan beberapa arsitektur kerajaan Sumenep, gabungan arsitektur Belanda, Inggris dan Madura begitu kental terlihat dari beberapa pintu gerbang yang kokoh berdiri tegap di dalam kompleks Asta Tinggi.
Asta tinggi sendiri menurut arti Etimologi adalah makam yang tinggi. Itu berdasar dari letak makam yang berada di puncak bukit dan penamaan Asta Tinggi sebenarnya hanya untuk mempermudah penyebutan saja. Di Asta Tinggi sendiri bukan hanya terdapat makam dari raja namun juga makam dari keluarga-keluarga raja, sentana, dan punggawa sejak abad XVI. Orang banyak berziarah kesini karena raja-raja sumenep juga dikenal karena kewaliannya karena perduli terhadap perkembangan Islam di daerah Sumenep dan sekitarnya.
Makam pertama yang ada di Asta Tinggi adalah makam dari R. Mas Pangeran Anggadipa yang merupakan seorang adipati. Makam perempuan di samping beliau adalah makam dari istri beliau yang bernama R. Ayu Mas Ireng, R. Ayu Mas Ireng sendiri adalah putri dari Panembahan Lemah Duwur. Dulu pada awalnya Asta Tinggi tidak memiliki pagar hanya rimba belantara dan batuan terjal. Untuk menghormati Pangeran Anggadipa dan istrinya Pangeran Rama yang ketika itu menjabat sebagai adipati Sumenep membangun pagar hanya dengan batu-batu yang disusun rapi. Asta Tinggi sendiri memiliki dua bagian dimana bagian barat memiliki corak Jawa. Di bagian timur sendiri lebih didominasi oleh corak Cina, Eropa, Arab dan Jawa. Pembangunannya sendiri berlanjut dari masa pemerintahan Panembahan Notokusumo I Asirudin dan Sultan Abdur Rahman yang tidak lain dan tidak bukan adalah putranya, dan masih berlanjut lagi di masa pemerintahan Panembahan Moh. Saleh.
Tempat tujuan terakhir tour ziarah wali Madura adalah
6. Sunan Ampel, Surabaya
Tiba di lokasi makam Sunan Ampel Surabaya pada sore hari. Lokasi makam sudah sangat ramai sekali dipenuhi peziarah. Sedikit antri untuk mendapatkan tempat, akhirnya rombongan kami mulai membacakan tahlil istighosah dan berdo'a di sebelah barat makam.
Setelah selesai para Jam'iyah Tahlil dan Istighosah Keputran - Kemantren beristirahat dan berbelanja oleh-oleh sembari menunggu waktu adzan Maghrib.
Alhamdulillah akhirnya perjalanan tour ziarah wali Madura telah selesai dan terlaksana dengan lancar. Dalam perjalanan pulang kami disertai turun hujan, semoga ibadah ziarah wali yang telah kami lakukan mendapatkan berkah dan ridlo Alloh SWT...Aamiin. [Sobat Sejatie]
Bagikan
Ziarah Wali Madura Jam'iyah Tahlil Dan Istighosah Keputran - Kemantren
4/
5
Oleh
Unknown